MAJU BERBISNIS MENEMBUS GEOGRAFIS


Perkembangan teknologi berjalan sangat pesat. Jauhnya jarak bukan lagi sebuah halangan untuk saling menyapa, ngobrol, bahkan berbagi pengalaman dan ilmu antar manusia di seluruh penjuru dunia. Inilah yang dimanfaatkan oleh Muri Handayani, seorang tentor sekaligus pendiri Sekolah Bisnis Online.
Sekolah Bisnis Online yang didirikan oleh Hani, demikian dia biasa disapa, dimulai sejak 20 September 2014. Ini merupakan lembaga non formal yang mengajarkan banyak hal, terutama tentang seluk beluk membangun dan menjalankan bisnis secara online. Dengan memanfaatkan berbagai macam sosial media yang tersedia seperti facebook, twitter, dan instagram, Hani tidak segan membagi ilmu dan pengalamannya kepada murid-muridnya.

Hani membidik para ibu rumah tangga sebagai muridnya, dengan alasan banyaknya ibu rumah tangga yang ingin membantu suami mereka dari sisi keuangan namun tetap ingin mengedepankan kebersamaan bersama keluarga. Dalam hal ini, para ibu rumah tangga tersebut hanya perlu duduk manis di depan laptop atau smartphone mereka dan mengakses facebook. Meski pada kenyataannya tidak hanya para ibu saja yang tertarik bergabung di sekolahnya. Para bapak pun ada. Selain itu, tidak sedikit pula karyawan yang sedang berada dalam fase keraguan karena keinginannya untuk resign dengan alasan penghasilan dari bisnis online terkadang melebihi gajinya sebagai karyawan.
“Dengan bertumbuhnya pengusaha-pengusaha baru maka akan banyak lapangan kerja sehingga dapat mengurangi angka pengangguran,” tambah alumni Universitas Budi Luhur ini.
Semua dipersilahkan untuk bergabung di sekolah ini. Apalagi jika menginginkan memulai ataupun mengembangkan bisnis onlinenya. Jadi tidak heran jika murid-murid di sekolah online ini bukan hanya berasal dari Indonesia dari Sabang sampai Merauke, tapi juga dari berbagai negara seperti Amerika, Swedia, dan juga Kairo.
Di sekolah online milik Hani, banyak materi yang diajarkan. Mulai dari excellent service, branding, sistem pembayaran, tips dan trik, optimasi sosisal media, pemasaran, foto produk cantik, pengemasan, waspada penipuan, penentuan harga jual, hingga sistem keagenan. Sangat komplit, bukan?
Menurut Hani, banyak keunggulan berbisnis secara online, diantaranya adalah waktu yang flexibleseolah-olah toko tersebut buka 24 jam karena pebisnis dapat merespon konsumen kapan saja. Selain itu biasa berbisnis via online lebih murah karena tidak harus menyediakan etalase dan keperluan toko lainnya. Dan yang terpenting adalah jangkauannya yang luas hingga internasional yang berdampak pada potensi percepatan perkembangan bisnis.
Hani menambahkan, selain keunggulan tadi, bisnis online juga mempunyai kelemahan. Kelemahan tersebut terdapat pada kualitas warna dari foto produk yang terkadang tidak kurang sesuai dengan aslinya. Selain itu, bisnis online sangat tergantung dengan jaringan internet. Hal ini perlu menjadi perhatian karena interaksi dengan calon konsumen 80% terjadi di sosial media. Jika jaringan bermasalah, maka secara otomatis transaksi tidak dapat dilakukan.
 Di akhir wawancara, Hani tidak segan membagi tips bagi Anda yang akan memulai bisnis online. Yang harus dilakukan pertama kali oleh para pebisnis online adalah menentukan produk/jasa apa yang akan dijual, lalu menentukan target marketnya. Anda dapat memanfaatkan media sosial seperti facebook, twitter, dan instagram dengan membuat akun dengan menggunakan nama toko yang Anda inginkan. Langkah selanjutnya adalah Anda harus mengambil foto semenarik mungkin sebagai promosi atas produk/jasa yang ditawarkan. Dan yang terpenting adalah melengkapi saran komunikasi yang mempermudah hubungan Anda dengan konsumen seperti BBM, Line, WA, Email, dll.
Satu hal lagi yang tak kalah pentingnya saat sudah memulai bisnis adalah memaintenance konsumen. Konsumen harus menjadi bagian dari bisnis. Tidak hanya sekedar menjadi pembeli, tapi juga sebagai penentu produk/jasa yang akan dilempar ke pasar. Anda dapat membuat data base dari para konsumen dengan membuat kartu member, memberikan hadiah jika konsumen Anda melakukan transaksi yang besar, serta melibatkan mereka dalam banyak kegiatan yang Anda selenggarakan.
“Yang perlu diperhatikan dalam menjalankan bisnis ini adalah perlunya kewaspadaan akan adanya penipuan, dan kualitas foto yang dibuat semenarik mungkin untuk menarik pelanggan,” tambah wanita pemegang merek dagang RaZha untuk produknya ini, menutup wawancara.

Related Posts:

THE DARK HOLE (PART 2)

Sebelumnya ... The Dark Hole Part 1

Ai menggeser tas ransel berisi peralatan kemah dan beberapa keperluan lainnya. Entah mengapa perasannya mengatakan akan ada petualangan besar menantinya. Setelah merasa tas itu nyaman di punggungnya, Ai membonceng di belakang sepeda yang dikemudikan Io. Suasana di luar masih sama. Sepi dan abu-abu.
Sepuluh menit perjalanan, melewati beberapa blok rumah, Io dan Ai tiba di lapangan sekolah. Lapangan berukuran sepuluh kali lima belas meter itu terletak pada bagian belakang sekolah, berbatasan dengan hutan kecil yang menghubungkan sekolah mereka dengan sebuah bukit di belakangnya.
Jo belum datang, dan itu membuat mereka berdua sedikit kecewa. “Dia berbohong,” ujar Ai dengan nada kecewa. Ia masih sempat berharap kalau Jo adalah salah satu orang yang akan membantunya mengatasi semua ini.
“Bisa juga tidak.” Io menanggapi dengan enteng. Ia menyandarkan sepedanya pada sebuah pohon besar, lalu melepas tas ransel dari punggungnya. “Mungkin dia sedang dalam perjalanan kemari. Ini masih kurang beberapa menit lagi. Kita yang terlalu cepat.”
“Itu karena kau terlalu bersemangat,” sahut Ai yang membuat Io menoleh cepat padanya. Matanya menyipit. “Jadi kau tidak?”
“Bukan begitu maksudku … hanya saja …,” Ai tergagap. Ia tak menyangka kalau kakaknya akan menanggapinya serius. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?”
Io mendesah dramatis. “Keluarkan bukunya!” Ia menerima buku dari Ai dan langsung membukanya. “Menurut buku ini, dark hole adalah jalan penghubung antara dunia manusia dengan dunia lain,” kata Io sambil terus memindai kata demi kata di buku itu.
“Apa itu?” tanya Io, bingung.
“Dunia dimana sesosok makhluk penguasa kegelapan bersemayam di sana,” Io mengakhiri kata-katanya lalu melihat ke Ai. Kini mereka saling berpandangan lalu secara bersamaan melihat ke arah dark hole yang berjarak beberapa meter saja dari mereka. Mereka sengaja menutupi lubang itu dengan semak-semak. Lubang itu semakin hari semakin membesar. Yang awalnya hanya sebesar kepalan tangan sekarang sudah dua kalinya.
“Hai, kalian!” suara dari balik semak mengagetkan Ai dan Io. Jo berlari tergopoh menghampiri mereka. Lelaki berusia empat puluh tahunan itu membawa sebuah buku lain yang lebih besar dan tebal.
“Aku menemukan jawaban atas semua kekacauan ini,” kata Jo. Kini ia duduk berhadapan dengan mereka.
“Benarkah?!” tanya Ai dan Io serentak, sangat antusias. Jo membuka sebuah halaman pada buku itu.
“Ini ada hubungannya dengan legenda Golden Dragon,” kata Jo sambil memperlihatkan gambar yang tertera pada buku. Seekor naga raksasa dengan tiga cula di kepalanya. Ekornya panjang dan terlihat kuat. Sayapnya lebar dan kokoh. Ia menyemburkan lidah api panjang yang merah menyala.
“Inikah penguasa kegelapan itu?” tanya Ai dengan nada lambat. Matanya terpaku pada sosok naga itu.
“Bukan. Tapi ini adalah penyelamat kita,” jawab Jo. Tangannya memindai pada paragraf di bawah gambar. “Di sini dikatakan, di dalam perut naga ini terkandung sebuah telur raksasa berupa kristal putih. Kristal itulah yang bisa menyumbat kembali dark hole,” jelasnya panjang-lebar.
“Berarti kita harus membunuhnya?” tanya Io sedikit ragu.
“Ya, mau bagaimana lagi. Kalau ingin mengambilnya, ya harus membunuhnya,” ujar Jo sambil mengendikkan bahu.
“Sepertinya memang arus ada yang dikorbankan,” gumam Ai, lalu menghela nafas panjang. Bahunya melorot.
***
“Io… Io… Bangun!”
Tubuh Io berguncang. Dengan cepat matanya terbuka lebar. “Aku dimana?”
Ai duduk di sampingnya, setengah membungkuk. “Di dalam tenda.”
“Di dalam tenda?!” Io segera bangkit dari posisi tidur, lalu duduk sambil melihat sekitar dan terus berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.
“Kau pikir dimana? Semalam kita berkemah di sini.” Jawab Ai. Ia jadi ikutan bingung dengan sikap Io.
Tiba-tiba pintu tenda terbuka. Jo menyembulkan kepalanya. “Sarapan sudah siap. Ayo cepat makan. Kita butuh banyak tenaga hari ini.”
Kedua remaja itu bangkit lalu keluar tenda. Sesaat kemudian mereka telah duduk pada batu yang melingkari sisa-sisa api unggun yang semalam mereka gunakan. Api unggun yang tak lagi berwarna merah menyala tetapi sudah menjadi abu-abu terang.
“Semalam aku sudah mempelajari buku ini.” Jo mengambil buku di sampingnya lalu membuka sebuah halaman dan menyodorkannya pada Io dan Ai yang masih memegang piring berisi sarapan mereka.. “Ini adalah peta yang menunjukkan dimana Golden Dragon tidur.” Jo memperlihatkan sebuah halaman hanya dengan beberapa garis berwarna berbeda yang meliuk-liuk. Ada beberapa tanda di sana, yang menunjukkan suatu tempat tersembunyi.
“Lalu dimana Golden Dragon sekarang?” Kini Io yang lebih bersemangat dibanding Ai.
“Dia sudah tertidur berabad-abad lamanya di antara dua bukit kembar,” tambah Jo lagi.
“Bukit kembar?! Itu berarti…,” Io dan Ai menoleh ke arah yang sama. “Bukit belakang sekolah.”
“Kita harus masuk ke dalam hutan dan menemukan telaga di sana --,” Jo menunjuk ke peta.
“Kalau begitu kita berangkat sekarang.” Potong Io cepat. Ia meletakkan piringnya, lalu bangkit dan mengangkat ranselnya.
Jo menoleh ke Io dan mencoba menahannya. “Hei. Habiskan dulu sarapanmu.”
“Kita tidak punya banyak waktu.” Io menoleh ke Ai, mencoba mencari dukungan. “Ayo!”
Ai bergeming. “Kalau benar kita harus bertarung, aku tak mau jika harus bertarung dalam keadaan kelaparan.”
Jawaban Ai membuat Io geram. Ia meletakkan tasnya dan kembali ke piringnya. Mereka menghabiskan waktu hampir satu jam untuk sarapan dan membongkar tenda, lalu mulai berjalan masuk lebih dalam ke dalam hutan. Io yang memimpin perjalanan. Ia berada paling depan, disusul Ai dan Jo.
“Yang mana? Kiri atau kanan?” Rombongan berhenti seketika saat Io bingung harus memilih satu diantara dua jalan di depannya. “Persimpangan ini tak ada di peta.”
“Cek sekali lagi!” Ai dan Jo ikut memperhatikan peta. Tapi tetap saja tak ada tanda.
Io terdiam sejenak. “Kita undi koin. Kalau angka kita ke kiri, tapi kalau gambar kita ke kanan.” Ia mengeluarkan koin dari saku jaketnya, melemparkannya ke atas dan membiarkan koin itu jatuh di tangannya, lalu dia menutup tangannya rapat.
“Angka.” Seru Jo.
“Bagus.” Io memasukkan kembali koinnya ke saku jaketnya, lalu berbalik. “Kita ke kiri.”
Ai menoleh ke Jo dengan dahi berkerut. Jo hanya mengendikan bahu, tak bisa memberikan jawaban atas keputusan Io yang tiba-tiba berubah. “Bukankah seharusnya kita ke kanan?”
Io mengingkari perkatannya sendiri. “Tapi instingku mengatakan kita akan menemukan sesuatu di sana,” Io menunjuk ke arah semak. Ia tak ambil pusing protes Ai. Itulah Io. Sosok yang keras kepala dan penuh kejutan. Tak banyak yang bisa dilakukan dengan keputusan Io.
Golden Dragon sangat berbahaya. Dia pemarah dan lincah ..,” Jo terus bercerita sepanjang perjalanan, dan cerita itu membuat Ai penasaran.
“Apa berarti untuk membunuhnya kita harus benar-benar bertarung?”
“Tentu saja.” Sahut Io. “Mana ada makhluk yang mau dengan suka rela menyerahkan nyawanya?”
Hampir satu jam perjalanan, tibalah mereka di sebuah danau dengan airnya yang berwarna hijau kebiruan. Di seberangnya sebuah rumah tua dengan gapura tinggi terbuat dari kayu. Io tersentak. Tiba-tiba ia menghentikan langkah dan membuat orang-orang di belakangnya menabraknya. Pemandangan di depannya, sesuatu yang tak asing baginya. Seperti de javu.
Kenapa berhenti?” tanya Jo sambil melihat ke Ai yang meringis dan mengelus dahinya yang sakit karena menabrak tas ransel Io.
“Rumah itu ...,” kata Io tanpa menoleh ke belakang. Suaranya terputus. Ia berdiri kaku. Matanya memandang lurus pada rumah. Lanjutnya, “ Aku pernah melihatnya.”
“Kau pernah kemari sebelumnya?” tanya Jo lagi, merasa dirinya melewatkan sesuatu dari Io. Tapi Io menggeleng. Lanjut Jo, “lalu dimana kau melihatnya?”
“Di mimpiku." Io masih belum mau berkedip dari pemandangan di depannya.
“Apa kau yakin?” Kini Ai yang ingin memastikan kalau kakaknya itu tidak sedang bercanda.
Io mengangguk mantap. “Kita harus masuk ke sana untuk mengambil pedang itu.
“Pedang?! Seru Jo dan Ai serentak. Keduanya makin tak mengerti.
Io berbalik cepat, berjalan mendekat ke Ai dan Jo. “Pedang yang ada dalam mimpiku.
“Kenapa semua tentang mimpimu. Ada apa dengan mimpimu?” Ai mulai geram. Ia menganggap gurauan Io tidak lucu.
“Entahlah. Aku merasa kalau mimpiku itu memberiku pentunjuk.” Io berusaha membela diri.
“Cukup!” Ai sudah tak tahan dengan sikap kakaknya. “ Aku tidak suka gurauanmu.”
“Aku tidak bergurau. Aku –.“ Io kaget dengan sikap Ai yang tak lagi percaya padanya.
“Hei, sudah. Jangan bertengkar!” Jo menoleh ke Io lalu ke Ai, mencoba melerai. “Kalau memang mimpimu benar, itu berarti kita harus cepat ke sana dan menyelesaikan semua ini.”
Io masih tersungut saat berbalik dan berjalan memasuki halaman, menaiki beranda rumah, lalu membuka pintunya. Di depannya, sebuah ruangan besar dengan sebuah batu besar di tengahnya. Batu itu tersinari oleh cahaya matahari yang menerobosi atap rumah. Mereka mendekat perlahan. Ini tak sama dengan apa yang ada di mimpinya. Tak ada kakek di sana. Justru yang mereka temukan adalah sebuah pedang yang menancap di atas batu. Di bawahnya sebuah prasastiHanya untuk yang terpilih.
Semua saling memandang. Hingga akhirnya Jo maju. Ia memegang erat ujung pedang dan berusaha sekuat tenaga menariknya, pedang itu tak bergerak. Ia kemudian menoleh ke arah Ai dan Io. “Cobalah!”
Ai dan Io serentak menggeleng.
“Tak ada salahnya mencoba, kan?” Pinta Jo, sedikit memaksa.
Io memberanikan diri untuk mencoba, tapi tetap saja pedang itu tak bergerak. Lalu giliran Ai. Ia menahan nafasnya lalu memejamkan mata. Baru saja dia akan menariknya sekuat tenaga, pedang itu tiba-tiba bergerak. Pedang itu berkilauan. Ai mampu mengangkatnya lalu membaca ukiran pada ujung pedang, Lord Swarrow, lalu melihat pada Io dan Jo yang masih terkagum dengan apa yang terjadi.
“Ai, kaulah yang terpilih,” seru Io. Wajah mereka berbinar seketika. Ada denting harapan tentang petualangan ini akan terus berlanjut. “Sekarang, kau yang memimpin misi ini.”
***
Jo, Ai dan Io berjalan menyusuri sebuah gua. Di sanalah Golden Dragon tertidur selama ini. Hanya ini satu-satunya jalan masuk. Gelap, sangat gelap. Tak ada secercah cahaya pun, hingga mereka harus menyalakan senter. Jalan setapak pada gua tidak begitu lebar, hanya cukup dilalui oleh satu orang saja. Di sepanjang dinding dilapisi oleh cairan hitam pekat.
Ai merasa jijik dengan cairan yang lengket di tangannya. Cairan itu meredam cahaya. Karena menurut legenda Golden Dragon sangat aktif jika melihat cahaya.
“Apa ini?” Tanya Ai, tapi tak seorangpun menjawab. Masing-masing tengah sibuk mengamati sekitar.Akhir lorong adalah sebuah tebing curam, yang menghubungkan lorong gua dengan ruangan besar di tengah gunung.
“Suara apa itu?” Tanya Ai lagi. Sebuah suara yang membuat bulu kuduknya berdiri.
“Matikan senternya!” Pinta Jo cepat.
“Kenapa?” Io penasaran.
“Itu suara nafas Golden Dragon,” jawab Jo setengah berbisik.
“Suara nafas?!” seru Io dan Ai serentak dengan nada ngeri.
“Ya ampun, suara nafasnya saja sudah menakutkanku.” Ai merapat ke dinding gua, bersembunyi di antara stalakmit besar yang menjulang kokoh di hadapannya.
“Kau takut?” Tanya Io dengan nada sinis.
Ai berguman. Tatapan mata Io yang seperti itu selalu mengintimidasinya, mengingatkannya akan dosa-dosanya. Ia tak mau jadi pecundang.“ Ti … Tidak.”
Jo mengeluarkan sesuatu dari tas ranselnya. “Pakai ini.” Kacamata inframerah yang akan membantu mereka melihat dalam gelap.
“Keren. Ini seperti di film perang.” Io menerimanya dengan berbinar.
“Hei, Nak. Kita memang sedang berperang.” Timpal Jo.
Mereka melangkah ke depan perlahan, memasang tambang dan menjulurkannya hingga ke bawah. Satu per satu mereka turun. Sesampainya di dasar, mereka bisa merasakan hembusan nafas Golden Dragon. Ia ada di sana, di depan mereka. Perlahan mereka mendekat.
Mereka berdiri di depan Golden Dragon. Dekat, sangat dekat. Ai mengeluarkan pedang Lord Swarrow dari sarung pembungkusnya, yang sedari tadi dibawa di punggung. Io dan Jo melangkah mundur, memberi kesempatan pada Ai melakukan tugasnya, selain itu juga untuk mengantisipasi kalau-kalau terjadi sesuatu.
Ai mengangkat pedangnya. Ia siap mengayunkannya saat tiba-tiba Golden Dragon membuka matanya. Rupanya Lord Swarrow bereaksi terhadap keberadaan penguasa kegelapan dan pengikutnya. Ia bercahaya. Cahaya itulah yang membangunkan Golden Dragon.
Ai terbelalak saat Golden Dragon mengangkat kepala dan mulai meraung. Tubuhnya kaku. Ketakutan seketika menyergapnya. Ia tak pernah mengalami hal semacam ini. Kalau hanya bertarung, setiap seminggu sekali ia diharuskan bertarung sesama anggota Tae Kwon Do sekolah. Tapi ini dengan naga yang suaranya saja menggetarkan dinding gua. Tangan Ai bergetar dan pedangnya hampir jatuh. Sedang Io dan paman Jo berlari mundur, bersembunyi di balik batu besar.
“Seharusnya dia bisa lebih dari itu.” Mata Jo menyipit. Dahinya berkerut.
“Maksudmu?”
“Aku tahu riwayat leluhur kalian.” Jo menoleh ke Io. “Leluhur kalian adalah penjaga pulau ini. Ketika pulau ini diserang penguasa kegelapan, leluhur kalian memimpin perlawanan. Hingga akhirnya penguasa kegelapan kalah dan dipenjarakan di dark hole.”
Io menelan ludah dengan susah, sedikit ngeri dengan cerita Jo. “Benarkah?! Lalu Golden Dragon?”
“Sebenarnya dia adalah tunggangan dari penguasa kegelapan.”
“Dimana penguasa kegelapan itu?”
“Ditawan dalam dark hole. Jika dark hole terbuka, dia akan menyerap semua cahaya di dunia ini. Cahaya itulah sumber kekuatan penguasa kegelapan. Itu sebabnya kita harus segera menutupnya kembali sebelum dia bangkit.”
Golden Dragon menegakkan tubuhnya. Ia menatap Ai tajam. Sedang Ai hanya terdiam, mencoba mengumpulkan keberanian. Seketika Ai merasakan rasa terbakar menjalar di seluruh tubuhnya. Sebuah kekuatan kini telah bangkit dalam dirinya. Dia memutar Lord Swarrow lurus. Ia sudah siap dengan segala serangan.
Golden Dragon mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya bersama lidah api yang menjilat, menyebar ke segala arah. Ai mundur selangkah, lalu berlari dan melompat tinggi. Diayunkannya Lord Swarrow, tapi Golden Dragon mampu menghindar. Ia mengepakkan sayapnya lalu terbang mengitari dinding tebing.
Ai mendarat dengan mantap, lalu berbalik, mencoba mencari keberadaan Golden DragonGolden Dragon berputar lalu menukik tajam, mencoba menghantam Ai, namun Ai berlari ke belakang. Ia menapakkan kakinya pada lereng bukit, berlari dengan posisi sembilan puluh derajat, melompat lalu melakukan salto. Diayunkannya Lord Swarrow hingga memangkas ekor Golden Dragon. Golden Dragon mengerang. Lagi-lagi suaranya menggetarkan dinding tebing. Io dan Jo sampai harus menutup telinga.
Ai bergeming. Ia berdiri tegak menghadap Golden Dragon, mengangkat Lord Swarrow, dan bersiap dengan serangan berikutnya. Ai berlari kencang menuju ke sisi kiri Golden Dragon saat naga itu lengah karena lukanya. Ia berlari tegak lurus pada dinding tebing lalu melompat dan berputar hingga berhasil mendarat di kepala Golden Dragon. Jurus itu beberapa kali diulangnya karena memang itulah salah satu cara agar bisa menyaingi makhluk dengan tinggi sepuluh kali tinggi tubuhnya.
Golden Dragon menyadari keberadaan Ai di kepalanya. Dari kejauhan Ai terlihat seperti kutu di kepala Golden DragonGolden Dragon menggeliat dan itu menyebabkan keseimbangan Ai terganggu. Ai terpeleset dan bergantungan di samping kepala Golden Dragon. Tangan kirinya berpegangan pada salah satu tanduk Golden Dragon sedang tangan kirinya menggenggam erat Lord Swarrow.
Kalian! Tolong aku!” Seru Ai. Sedari tadi ia tak melihat Ai dan Jo.
“Bertahan Ai!” Seru Io dari balik batu. Nafasnya menderu melihat adiknya bergelantungan. “Apa yang harus kita lakukan?”
“Kenapa tanya aku? Harusnya kau yang lebih tahu,” elak Jo.
“Aku?” Io menunjuk hidungnya sendiri.
“Kau ingat mimpimu? Mimpi itulah yang telah membimbing kita. Kau bisa melihat masa depan lewat mimpi.”
“Aku tidak mengerti!” Io semakin bingung. Ia mulai panik.
“Jangan berdebat terus! Cepat tolong aku!” Ai masih terus bertahan meski Golden Dragon terus mengibaskan kepalanya, berharap genggaman tangan Ai melemah dan terjatuh. Dengan begitu akan makin mudah baginya untuk menjadikan Ai sasaran empuk.
Jo terus mendesak Io untuk mengingat kembali mimpinya. “Io, coba ingat lagi!” Jo percaya banyak petunjuk dalam mimpi itu.
“Setelah pedang itu, kakek dalam mimpiku berkata, tiga nyawa dalam satu jiwa. Apa maksudnya?”
“Kalian! Cepatlah!” Ai geram. Ia merasa ditinggalkan. Seharusnya ini adalah pertempuran mereka, bukan perorangan.
“Tiga ...,” Io menoleh ke Golden Dragon. Tanduknya! Ai, potong tanduknya!”
“Tanduk?!” Ai melihat tanduk yang digenggamnya. Ia berusaha naik ke atas lalu menencapkan Lord SwarrowGolden Dragon menggeliat kesakitan. Ai diam, menjaga posisinya agar tak goyah. Sesaat kemudian ia mengangkat Lord Swarrow lalu mengayunkannya cepat. Tebasan Lord Swarrow memenggal habis ketiga tanduk Golden Dragon.
Golden Dragon mengerang keras. Sebentar kemudian terkulai lemas. Ai yang berada di atas masih sempat melompat ke belakang, meluncur melalui leher Golden Dragon menuju punggungnya. Ia bertahan di sana, menunggu leher Golden Dragon yang panjang tergeletak di tanah meski masih menghembuskan nafas lemah.
Ai melompat ke bawah. Kakinya sekarang bisa menyentuh tanah. Ia mendekat pada perut Golden Dragon. Sebenarnya ia tak tega melihat Golden Dragon yang tengah sekarat sambil sesekali mengerang. Tapi mau tak mau ia harus membunuhnya untuk mendapatkan kristal itu. Ai mengangkat Lord Swarrow, menancapkannya tepat di perutnya lalu membuat sayatan melintang hingga perutnya terbuka. Sedikit celah terbentuk di sana, membiarkan seberkas cahaya berkilauan keluar, menyebar.
Io dan Jo berlari mendekat.
“Buka lebih lebar!”seru Jo. Kristal bening berbentuk tabung sebesar bayi memancarkan cahaya terang hingga mereka bisa melepas kacamata mereka..
Seketika tanah bergetar. Dinding gua mulai runtuh.
“Cepat ambil kristalnya dan keluar dari sini!” Seru Jo. Io bergegas mengambil Kristal itu dan memasukkannya ke dalam tas. Lalu kedua kakak adik itu berlari ke dinding gua, memanjatnya hingga sampai di lorong tempat mereka masuk.
Ai menoleh ke bawah. Jo masih ada di sana Cepatlah! Gua ini akan runtuh!” Teriaknya. “Kalian keluar dulu dan segera tutup dark hole. Aku akan menyusul!” Seru Jo dan terus memaksa mereka untuk cepat keluar.
Butuh tenaga ekstra untuk berlari dari mulut gua ke dark hole“Lubangnya cepat sekali membesar. Aku harap kristal ini cukup menutupnya,” kata Io saat membantu Ai meletakkan Kristal itu hingga pas pada mulut dark hole. Ada tenaga perlawanan saat kristal itu di masukkanTapi mereka tetap berusaha mendorongnya hingga menutup dark hole dengan sempurna. Dari kristal itu berpendar semakin terang, lalu cahayanya menyebar. Seperti degradasi pelangi. Cahaya itu terus memantul ke segala arah dan diserap oleh semua benda di dunia ini. Warna warni dunia telah kembali seperti semula. Daun hijau, batang coklat, langit biru, awan putih, matahari kekuningan. Ai melihat tubuhnya, lalu ke Io dan sekitarnya. Perlahan tubuh mereka kembali seperti semula. Tidak lagi seperti film hitam putih.
***
“Siapa Jo?” Tanya seorang petugas perpustakaan bernama Kevin saat Io dan Ai kembali ke tempat itu untuk memastikan kalau Jo baik-baik saja. Kemarin Jo tidak ikut mereka menutup dark hole.
Petugas di sini. Dia pernah mengajak kami ke lantai tiga. Jawab Io.
“Tak ada yang bernama Jo disini. Lagi pula lantai tiga sedang di renovasi, tertutup untuk umum.”
Setelah berdebat hampir satu jam, akhirnya Ai dan Io menyerah dan pulang ke rumah. Meski Jo yang mereka maksud tidak mereka temukantapi mereka senang semua telah kembali seperti semula. Dunia yang penuh warna.
Io membuka pintu depan lalu masuk ke dalam rumah, diikuti Ai di belakangnya. Di ruang tamu Zack dan Scarlet berdiri saling bersebelahan. Ia memandang ke sebuah lukisan yang baru saja terpasang di dinding.
“Siapa mereka?” Suara Ai mengagetkan keduanya.
“Ini ayah,” katanya sambil menunjuk ke foto lelaki kecil yang ternyata adalah dirinya. Lalu telunjuknya beralih ke lelaki setengah baya yang berdiri di belakang bocah lelaki itu. “Ini kakekmu. Tangannya bergerak lagi pada foto lelaki dengan rambut memutih sempurna. “Dan ini kakek buyutmu.
“Kakek buyut?” Seru mereka serentak setelah mengamati dengan seksama sosok di foto itu. Mereka berpandangan. Io menyipitkan mata dan dibalas dengan endikan bahu oleh Ai.  Sosok kakek buyut mereka mengingatkan mereka pada lelaki yang telah menemani mereka berpetualang hingga mengalahkan Golden Dragon.


THE END

Related Posts:

SHARING BERSAMA LYGIA PECANDU HUJAN


Kamis, 2 Oktober 2014 adalah hari yang sangat membahagiakan bagi anggota IIDN Solo. Betapa tidak, saat kami tiba-tiba mendapat undangan tidak resmi untuk acara KopDar dengan salah satu penulis wanita yang namanya sudah tersohor hingga seantero nusantara. Lygia Pecandu Hujan atau yang biasa dipanggil Teh Gia, mengajak kami ngobrol dan sharing di sore yang sedikit mendung di Cafe Tiga Tjeret. Cafe yang terletak di jalan Ronggowarsito No. 97 ini memang pas untuk nongkrong dan acara kumpul-kumpul baik dengan seluruh anggota keluarga ataupun juga dengan teman dan kolega.
Seperti yang sudah-sudah, setiap ada acara IIDN Solo, anggota yang hadir tidak lebih dengan 13 orang. Demikian pula sore itu. Hanya 8 orang saja yang hadir, itu pun sudah termasuk salah satu anggota IIDN Solo baru yaitu Fahmi Adiba.

Pada kesempatan itu, sambil ditemani cemilan khas Solo seperti pisang karamel, pis roti, sate baso, dan juga teh nasgitel (panas, legi, lan kenthel), Teh Gia banyak membagikan ilmunya terutama tentang seputar dunia kepenulisan dan penerbitan. Menurut Teh Gia, menjadi seorang penulis baik pemula ataupun sudah berpengalaman hendaknya berpegang pada tiga hal, yaitu ketepatan deadline, kualitas naskah, dan no copas.
Penulis mana yang tidak kenal deadline? Deadline adalah salah satu yang terkadang membuat penulis manapun berasa senam jantung, deg-degan, dan nervous. Namun wanita kelahiran Bandung ini memiliki trik khusus untuk memenuhi deadline menulisnya. Teh Gia yang hampir selalu mendapat tenggat waktu menulis kurang dari satu bulan untuk menulis satu buku mengatakan, dia selalu memiliki deadline-nya sendiri. Deadline yang dia buat selalu lebih awal dari deadline yang diberikan oleh penerbit. Sehingga, dia masih memiliki waktu untuk membaca kembali naskahnya dan juga melakukan editing jika naskah tersebut masih memerlukan perbaikan. Bila sekiranya penulis membutuhkan waktu melebihi deadline yang diberikan, komunikasikan hal tersebut dengan pihak penerbit. Komunikasi yang baik akan dapat membantu memecahkan masalah dan memberikan solusi terbaik. Karena bagaimana pun antara penulis dan penerbit ada hubungan simbiosis mutualisme. Hubungan saling ketergantungan, saling membutuhkan.


Mungkin sebagian orang jadi bertanya, apa perlu seorang penulis melakukan editingterhadap naskah yang ditulisnya? Bukankah sudah ada editor? Menurut Teh Gia, penulis harus bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya, termasuk dalam hal kualitas naskah dari sisi ejaan, ketepatan penggunaan istilah dan tidak adanya kesalahan penulisan atau no typo. Ini dimaksudkan untuk meringankan kerja editor. Editor pasti akan senang jika naskah yang diterimanya rapi, sesuai dengan ketentuan pengiriman naskah yang disyaratkan, dan benar. Jika editor cepat mengoreksi naskah kita dan menganggap naskah kita layak, dengan cepat pula naskah tersebut akan naik cetak.
Masih menurut Teh Gia, dari kesemuanya yang paling penting adalah no plagiat, no copas. Penulis adalah menulis. Mungkin gagasan akan sama, namun pilihan kata, gaya penulisan dan susunan kata haruslah berbeda. Dalam hal ini Teh Gia membocorkan tips agar terhindar dari copas. Hal yang biasa dilakukan oleh Teh Gia adalah menulis ulang 2 sampai 3 kali naskah yang sudah ditulisnya. Memang sedikti merepotkan, namun ini dapat membantu penulis terhindar dari copas.


Sekarang kita semua tahu, tidak ada namanya penulis pemula ataupun penulis senior. Penulis adalah penulis. Etika dan sopan santun tetap dikedepankan. Jangan seenaknya sendiri. Ketika penulis menjatuhkan nilai-nya sendiri di depan penerbit, maka akan dengan cepat pula penerbit lain juga enggan melirik penulis tersebut. Sekalipun penulis tersebut memiliki koneksi ke dalam, itu tidak akan banyak membantu. Penulis sendirilah yang pada akhirnya harus meningktkan nilai-nya sendiri di depan penerbit.
Tuh, asyikkan ngobrol sore bareng Teh Gia. Waktu 3 jam berasa cuman 3 menit, sangking serunya ngobrol, hehe :D 

Related Posts:

THE DARK HOLE (PART1)


Bulan masih bulat penuh saat Ai menutup jendela kamarnya. Bulan itu tak lagi berwarna kuning, begitu pula semua yang ada di sekitarnya. Semua tinggal abu-abu dengan intensitas berbeda-beda. Semenjak dark hole terbuka, semua warna di dunia ini leyap, terserap olehnya.
Adalah kesalahan Ai yang membuka penutup dark hole. Meski ia tidak sengaja. Semua bermula dari kegiatan kerja bakti yang diadakan sekolah mereka dua hari yang lalu. Disaat membersihkan halaman belakang yang penuh semak belukar, Ai yang berumur lima belas tahun saat itu ditemani Io, kakaknya yang setahun lebih tua darinya, tak sengaja menarik penutup dark hole. Penutupnya hanya berupa batu berbentuk oval yang tertancap di tanah. Namun setelah batu itu tercabut, dark holeterbentuk. Dari sanalah kegelapan bermula. Dark hole menyerap semua warna yang ada di dunia ini dan menukarnya dengan abu-abu.
Seketika seluruh dunia gempar. Pemberitaan media cetak maupun elektronik mengenai fenomena ini merebak. Parailmuwan dari berbagai neraga mengadakan penelitian bersama, membahas tentang keanehan yang terjadi, menghilangnya warna dari dunia. Pasukan militer di setiap negara diwajibkan bersiaga, memantau perkembangan setiap saat kalau-kalau terjadi ancaman yang tak diinginkan.
Bumi seperti planet yang hampir mati. Tak banyak aktivitas yang dilakukan manusia sekarang ini. Hanya sedikit orang yang berani keluar rumah. Biasanya mereka pergi untuk membeli keperluan sehari-hari, menimbun bahan makanan. Transportasi umum hanya sesekali saja berjalan. Itupun tak banyak penumpang. Tidak ada pesawat yang terbang, kecauli pesawat militer yang lalu lalang berpatroli.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Tanya Ai. Ia naik ke tempat tidur Io yang tepat bersebelahan dengan jendela kamar. Tirai terbuka lebar. Io melihat ke luar, ke matahari yang kini tak seterang dua minggu yang lalu, sekarang tinggal lingkaran besar berwarna abu-abu terang di antara abu-abu yang lebih gelap yang biasa berwarna biru jika siang hari dan biasa disebut langit.
Io hanya terdiam. Ia masih menatap matahari abu-abu yang kini sinarnya tak lagi menyilaukan mata hingga siapapun bisa menatapnya secara langsung. Ia menggigit bibir bawahnya, berpikir keras, berusaha menjawab pertanyaan Ai. “Aku tak tahu,” jawabnya kemudian. Ia mendesah dramatis. “Kita harus segera mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
“Tentang lubang hitam itu … tidak mungkin lubang sekecil itu bisa menyerap semua warna di dunia ini.” Ai memandang lurus ke Io. Suaranya sedikit bergetar. Adasedikit rasa takut dalam hatinya yang memancar lewat matanya.
“Pernyataan yang bagus. Itulah yang harus kita cari tahu.” Tiba-tiba Io bersemangat. Saat-saat seperti ini adalah saat dia harus memberikan dukungan ke pada adiknya yang merasa bersalah karena telah menarik kristal hitam itu. Io memegang kedua bahu Ai, memutarnya agar menghadap padanya. “Kita pasti akan menemukan jalan keluarnya. Percayalah padaku.”
“Entahlah, Io.” Ai memalingkan wajahnya ke televisi yang masih memberitakan tentang kepanikan manusia di berbagai belahan dunia akan fenomena ini. “Semua itu karena aku.”
Io mendesah dramatis. Ia mengambil remot televisi yang tak jauh dari tempatnya lalu mengarahkannya ke televisi. Saat ia menekan tombol off dan televisi mati, ia kembali memandang Ai.
“Jangan pikirkan kepanikan itu.” Io turun dari tempat tidur, berjalan menuju ke meja belajarnya. Ia mengambil laptop lalu menyalakannya. “Semua akan baik-baik saja. Semua akan kembali ke seperti semula.”
“Bagaimana caranya?” Nada pertanyaan Ai seperti tidak percaya dengan apa yang dikatakan Io.
“Yaa … entahlah. Aku juga belum tahu. Tapi akan kita cari tahu.” Saat Io kembali menatap layar laptop dan mulai mencari informasi di internet tentang apa yang terjadi, Ai menghela nafas panjang. Ia tertunduk, bahunya melorot.
“Lebih baik kau kemari dan bantu aku mencarinya,” pinta Io tanpa melihat ke Ai.
Ai belum beranjak dari tempat tidur. “Apa kau akan mengatakan pada ayah dan ibu yang sebenarnya?”
Dengan cepat Io menoleh ke Ai. “Aku bukan tipe pengadu. Ini akan menjadi rahasia kita.”
“Benar?” Ai meragukan kata-kata Io.
Lagi-lagi Io mendesah dramatis. “Apa aku pernah berbohong padamu?”
“Pernah.” Jawab Ai cepat. “Bahkan sering.”
Io sedikit geram. “Itu karena aku sedang bercanda.”
Ai ingat saat Io tanpa sengaja menemukan hasil ulangan hariannya yang jelek, yang terjatuh dari bawah bantalnya. Ai sudah berusaha menyembunyikannya. Tapi ini bukan kamar pribadi. Sejak lahir ia harus berbagi kamar berukuran limakali enam meter ini dengan Io. Bisa saja sesuatu terjadi tanpa disadari. Termasuk rahasia yang sudah dengan rapi disimpan, tiba-tiba ketahuan.
Saat itu Io berjanji tidak akan mengatakannya pada ayah. Ai tahu ayahnya akan marah besar. Ai sadar, ia tak sepintar Io. Tapi ia sudah berusaha keras, dan gagal. Semua berjalan lancar hingga saat mereka sarapan bersama, tiba-tiba Io keceplosan. Dia memang sering seperti itu, seperti bicara tak terkendali. Meskipun tak sengaja, tapi tetap saja Ai ketahuan. Ai terkadang bingung. Sebenarnya Io benar-benar keceploan atau sengaja mengatakannya. Bukan sekali ini kejadian. Saat Ai naksir Ian, sepupunya sendiri – putera paman Sam, adik ayahnya – Io melakukan hal sama. Ia tiba-tiba keceplosan, membuat semua orang yang ada di rumah neneknya tertawa. Dan itu membuat Ai sangat malu.
“Apa kau sedang serius sekarang?” Ai memastikan. Ia mengamati wajah Io dengan seksama. Tak ada sedikitpun senyum di wajahnya. Bahkan memang terkesan tidak sedang bercanda.
“Apa menurutmu semua kegelapan ini adalah gurauan?”
Ai menggeleng.
“Tidak ada yang ingin bercanda dalam situasi ini.”
Ai mengangguk. Suaranya makin lemah, tapi paling tidak ia sedikit lega tak akan ada yang tahu kalau dialah pembuka dark hole. “Terima kasih, Io.”
“Sama-sama. Tapi aku akan terus mengingat ini. Dan suatu saat nanti kau juga harus membantuku.” Kata-kata Io tegas. Ia menoleh ke Ai dengan wajah serius.
Alis Ai terangkat, sedikit curiga dengan sikap Io. “Mambantu apa?”
Io hanya mengendikan bahu. “Entahlah. Aku belum tahu.” Ia lalu kembali menatap layar laptop. “Tapi suatu saat aku pasti juga akan membutuhkan bantuanmu. Dan kau harus menyanggupinya. Tidak boleh ada alasan.”
“Tuh, kan. Sudah aku duga.” Bahu Ai melorot. “Kau pasti punya pamrih membantuku. Tidak ada yang gratis darimu, Io.”
Io tertawa. “Sudah, lupakan! Ayo, kemari!”
***
“Aku tak percaya. Kegelapan ini pernah terjadi sebelumnya. Ratusan tahun yang lalu. Tapi artikel ini tak menyebutkan penyebabnya.” Mata Io memindai setiap kata yang muncul di layar laptopnya. Ia membaca sebuah artikel yang ditemukannya. Satu-satunya artikel yang benar-benar memberinya informasi tentang fenomena kegelapan ini.
“Mungkin karena tak ada yang tahu apa penyebabnya,” jawab Ai asal. Ia sudah terlalu putus asa dengan semua ini. Untung saja ada kakaknya, Io. Ia selalu punya semangat dalam hidupnya dan tak pernah padam. Terkadang Ai senang dekat dengannya, berharap semangat itu menular padanya.
Io melanjutkan membaca. “Kegelapan itu terjadi dalam beberapa minggu. Dan saat kegelapan itu terjadi, sering terdengar suara auman yang tak diketahui dari mana asalnya.”
Mata Ai menyipit. Ia mendekat ke Io lalu berkata dengan suara berbisik. “Kira-kira suara apa itu?”
Io bergumam. “Entahlah.”
Suara Ai kembai normal. Ia coba mengingat-ingat. “Ini sudah hampir seminggu dan kita tidak mendengar suara aneh apapun.”
Io mengangguk. “Benar. Kecuali …,” Ia melihat ke arah Ai dan membuat dahi Ai berkerut semakin dalam. Ai tidak mengerti arti tatapan mata kakaknya itu.
“Kecuali apa?”
“Suara mendengkurmu yang keras,” Jawab Io dengan maksud mengejek, lalu dia tertawa.
Ai cemberut. “Kau bilang tak ada yang mau bercanda di situasi seperti ini.”
“Maaf.” Io masih terkekeh. “Aku hanya tidak ingin kita terus tegang seperti ini. Ayolah, Ai! Tersenyumlah sedikit!” Io merasa bersalah. Ia memang suka jahil terhadap Ai. Ia tahu adiknya itu berhati kecil, mudah terpengaruh dan penakut. Mudah meributkan masalah yang kecil menjadi besar.
“Bagaimana aku bisa tersenyum?”
“Dengar!” Io memegang pundak Ai, berusaha menguatkan. “Kita sudah mendapat sedikit informasi. Dan aku yakin informasi ini akan membawa kita ke jalan keluar.”
“Dimana?”
“Perpustakaan kota,” Jawab Io mantap. Ia tersenyum dan sangat percaya diri dengan gagasannya itu.
“Apa?!” Ai mengerjap. Tidak mengerti hubungan seperti apa yang dipikirkn Io.
Io geram karena adiknya belum juga memahami arah pembicaraan. “Perpustakaan kotaadalah perpustakaan terbesar dan terlengkap. Pasti di sana banyak menyimpan buku sejarah, catatan perjalanan, koran, kliping atau apapun.”
“Bagaimana kita bisa ke sana? Ayah melarang kita pergi keluar.”
Io memutar matanya. “Sejak kapan kau jadi penurut?”
Mendengar perkataan Io, Ai menelan ludah dengan susah. Ia mengerti maksud kakaknya. Mereka akan pergi dari rumah dengan menyelinap. Mengendap-endap seperti pencuri di rumah sendiri.
“Ambil jaketmu dan jangan berisik!” pinta Io. Ia sendiri memasukkan lembaran kertas artikel yang dicetaknya dari internet yang berisi secuil informasi tentang dark hole.
Zack, ayah Io dan Ai, sedang sibuk berbicara dengan seseorang di telepon saat kedua anak itu turun ke bawah. Dan Scarlet, ibu mereka, sedang memasak makan malam di dapur. Io dan Ai sengaja melepas sepatu mereka agar tak ada suara langkah kaki,  mereka melangkah selangkah demi selangkah. Setelah melihat sekeliling dan dirasa aman, dengan mantap keduanya melanjutkan mengendap-endap, membuka pintu depan perlahan lalu menutupnya tanpa suara.
“Cepat! Kita harus kembali sebelum makan malam.”
***
Perpustakaan kotamasih buka sore itu. Io dan Ai menaiki beberapa anak tangga hingga mereka sampai tepat di terasnya. Empat pilar penyangga besar menjulang hingga ke atas. Sebuah pintu masuk besar terbuat dari kaca membawa mereka ke lobi depan. “Apa kau yakin kita akan menemukan sesuatu di sini?” Tanya Ai.
“Tentu saja” jawab Io sambil menyerahkan kartu anggotanya pada petugas. Lelaki berusia sekitar tiga puluhan itu menyorotkan barcode yang ada dibelakang kartu pada barcode reader. Sesaat kemudian terdengar suara beep, dan layar komputer memunculkan foto Io lengkap dengan identitasnya.
“Selamat datang,” sapa petugas itu, lalu menyerahkan kartu Io kembali. “Silahkan menggunakan komputer yang tersedia untuk mencari buku yang kamu inginkan. Jika kesulitan, silahkan minta bantuan petugas kami,” katanya ramah.
“Terima kasih.” Kata Io saat menerima kartunya kembali. “Sampai kapan anda akan bertugas, Pak?”
“Sampai orang-orang di dalam itu menuntaskan rasa penasarannya dengan yang terjadi sekarang.”
“Banyak orang di dalam?”
“Tidak juga. Hanya beberapa. Tapi mereka datang setiap hari kemari, membongkar buku-buku ....”
“Anda tidak takut?” Potong Ai, penasaran.
Petugas itu bergumam. “Sedikit. Aku hanya berusaha berpikir positif kalau semua akan kembali normal. Orang-orang pintar dan pemerintah sedang berusaha memecahkan masalah ini, dan aku yakin semua akan kembali seperti semula.” Suasan hening sesaat. “Bagaimana dengan kalian. Apa yang kalian lakukan di sini?”
“Kami hanya bosan di rumah. Sekolah juga diliburkan. Jadi kami datang kemari. Siapa tahu ada buku yang menarik.”
“Orang tua kalian tidak melarang keluar rumah?”
“Tidak, jika hanya sebentar.”
“Baiklah. Semoga kalian menemukan apa yang kalian cari.”
Ai melangkah pelan, memperhatikan sekeliling dan sedikit terbelalak dengan apa yang dilihatnya. Ia mengagumi betapa besar perpustakaan ini. Belasan kali lebih besar dari perpustakaan sekolahnya. Ada tiga lantai. Masing-masing lantai berderet rak-rak buku terbuat dari kayu, tinggi hingga mencapai atap. Ai yakin ada ribuan buku di sini. Bahkan mungkin jutaan. Entah berapa lama mereka sudah disimpan di sini. Sebagian dari buku-buku itu sudah memudar warna sampulnya. Ada juga yang kertasnya sudah menguning dan tepinya mulai rapuh.
“Aku tak yakin kita harus memulai dari mana untuk mencarinya.” Ai merasa tak ada harapan. Sangat tidak mungkin mereka membaca satu persatu buku yang ada di sini.
”Kemari!” Io menarik tangan Ai agar ia mengikutinya. Mereka menaiki tangga menuju ke lantai dua. Io sering kemari. Itu sebabnya ia sangat mengenal tempat ini. Mereka menuju ke deretan meja. Di atasnya terdapat beberapa komputer. Io menarik salah satu kursi, duduk dengan nyaman di sana. Lalu menyuruh Ai untuk duduk di samping kirinya. “Kita akan mencari tahu apapun yang ada di sini yang berhubungan dengan bencana ini.”
Io mengetikkan dark hole pada kolom keyword, di layar pencarian. Komputer berproses. Satu menit, dua menit. Tiga menit berlalu dan layar tak menampilkan apapun kecuali kalimat no result. Mereka mendesah dramatis dengan bahu melorot.
“Tak ada apapun di sini.” Kali ini Ai benar-benar putus asa. Ini adalah harapan terakhirnya untuk mendapatkan jawaban.
“Kita coba sekali lagi.” Io tak mau menyerah. Ia mencoba sekali lagi. Lagi. Dan lagi. Tapi ternyata hasilnya sama. Io yang awalnya bersemangat mulai putus asa. “Tidak mungkin.”
Adayang bisa aku bantu?” Suara lelaki di belakang mereka, mengejutkan.
Io sedikit ragu. “Eh … tidak. Terima kasih.”
Lelaki itu memincingkan mata, melihat ke layar computer. “Dark hole?!” Dia membaca kolom keyword, lalu bergumam. “Hmm … menarik. Apa yang ingin kau ketahui tentang dark hole?” Tiba-tiba lelaki itu menarik kursi untuk dirinya sendiri dan duduk di sebelah kanan Io.
 Io dan Ai, bingung. Mereka saling memandang. “Apa yang kau ketahui tentang dark hole?” Io memberanikan diri bertanya.
“Apapun yang ingin kau ketahui,” jawab lelaki itu tegas.
Lagi-lagi Io dan Ai saling memandang, sedikit bingung. “Apa maksudmu?”
Lelaki itu bangkit. “Ikutlah denganku!”
Io dan Ai mengikuti lelaki berperawakan gempal itu naik ke lantai tiga. Tak ada banyak orang di perpustakaan. Tak sampai sepuluh orang. Apalagi di lantai tertinggi ini. Tak ada seorangpun.
“Siapa nama kalian?” Tanya lelaki itu berusaha ramah.
Io menjawab. “Aku Io dan ini adikku Ai.”
“Aku Jo. Kenapa kalian tertarik dengan black hole?” Tanya lelaki itu lagi begitu mereka sampai di lantai tiga, berhenti di antara rak-rak kayu dengan deretan buku-buku yang mereka yakini umurnya lebih tua dari umur kakek mereka.
Ai mencengkeram lengan Io hingga dia tercekat dengan kata-kata yang akan diucapkannya. “Aku --,” Dengan cepat Io berpaling ke Ai dan melihat adiknya itu menggeleng pelan. Ai berharap Io tidak keceplosan lagi, mengatakan kalau Ai adalah penyebab bencana ini. “Hanya ingin tahu saja.”
Jo bergumam sambil memandangi Io dan Ai bergantian, dari atas hingga ke bawah. “Tidak banyak anak-anak yang ingin tahu seperti kalian. Sebagian besar ketakutan atau bahkan tidak peduli. Lihatlah ke bawah! Mereka semua adalah orang dewasa yang ingin tahu seperti kalian.”
Io dan Ai mengikuti Jo yang melongok ke lantai bawah lewat beranda luas di lantai tiga. “Tak banyak orang di sini.”
“Hanya beberapa orang ini, kalian, aku, April di bagian peminjaman, dan Kevin,”
“Petugas di lobi tadi?” Tanya Ai cepat.
“Ya.”
Jo berhenti pada salah satu rak pada deret paling belakang. Ia menarik tangga, naik ke rak paling atas, mengambil sebuah buku dan meletakkannya di samping, lalu tangannya masuk lebih dalam ke rak di antara dua buku. Sesaat kemudian Ia menarik tangannya dan mencengkeram sebuah buku besar dan tebal. “Ini dia.”
Jo mengembalikan buku di sampingnya, lalu turun perlahan. Dengan nafas terengah, ia menyodorkan buku itu pada Io. “Yang kalian cari.”
Dahi Io dan Ai berkerut melihat buku yang disodorkan oleh Jo. Buku tebal dengan ukuran tidak lebih besar dari tas ranselnya, kertasnya rapuh dan terlapisi debu, lalu mereka bersuara serempak. “Dark hole?!”
“Ya, semacam itu.” Jawab Jo enteng. Ia bersedekap sambil menyandarkan tubuhnya ke tangga, lalu sedikit merunduk, mendekatkan wajahnya pada Io dan Ai sambil meletakkan telunjuk kanannya di depan bibirnya. Ia berbicara setengah berbisik. “Jangan katakan pada siapapun. Ini rahasia.”
Io dan Ai mengangguk serempak. Lalu Ai berkata, “Tebal sekali,”
“Bawalah pulang. Kalian bisa membacanya di rumah.”
Ai membolak balik buku sambil mengamatinya dengan seksama. Dia sedikit heran. “Kenapa kau tidak meminjamkannya pada yang lain. Kau malah meminjamkannya pada kami … anak-anak.”
Jo bergumam. “Itu juga rahasia.”
Mendengar kata-kata Ai, Io memutar mata. “Karena kita lebih membutuhkannya.” Potongnya cepat. “Terima kasih, Paman Jo. Kami harus pulang sekarang.” Io segera berbalik dan menarik tangan Ai yang belum sempat mengucapkan kata-kata apapun pada Jo, termasuk selamat tinggal ataupun sampai jumpa lagi.
“Hey, tunggu!” Jo ingin memberi tahu sesuatu tapi anak-anak ini berjalan cepat, setengah berlari. “Ah, dasar, anak-anak.” Namun Jo menemukan sesuatu yang jatuh dari saku Io. Sebuah kertas putih yang diremas. Jo memungutnya, membukanya lebar, lalu membaca tulisan yang ada di kertas itu pelan. “Dark hole.”
***
“Dari mana saja kalian?” Suara Zack membuat Io dan Ai tersentak kaget. “Ayah sudah melarang kalian keluar rumah.” Lanjutnya dengan suara sedikit meninggi sambil berdiri berkacak pinggang di depan pintu.
Io meringis. “Aku menemani Ai ke rumah Grey. Dia mau meminjam buku ensiklopedia.” Io berasalasan sambil kakinya menginjak kaki Ai.
Ai kaget, tapi berusaha tetap normal. Dengan cepat otaknya memikirkan alasan lain. “Benar, Ayah.” Suaranya sedikit bergetar. “Aku bosan di kamar.”
Zack mendesah, tidak dapat menerima alasan kedua putrinya. “Tapi kalian bisa berpamitan terlebih dulu sebelum pergi.”
“Maaf.” Jawab kedua gadis kecil itu serempak. Ada rasa takut akan kemarahan ayah mereka.
“Apa kalian tahu? Kalian sudah membuat ibu kalian cemas.” Menyadari perubahan raut wajah kedua putrinya, Zack menurunkan nada suaranya. Lanjutnya, “Dan ayah lebih cemas lagi karena tidak menemukan kalian di seluruh penjuru rumah.”
“Kami janji tidak akan mengulanginya lagi. Lagi pula kami sudah remaja. Jadi ayah tidak perlu secemas itu.” tanggap Io. Dia berusaha mengakhiri pembicaraan ini cepat, sebelum ayahnya mengintrogasinya lebih dalam.
“Justru karena kalian remaja, Ayah tidak ingin kalian melakukan sesuatu yang nekad … bahkan konyol.”
Io memutar matanya. Ia sadar tidak akan menang jika berdebat dengan ayahnya. “Baiklah, Ayah. Kami berjanji tidak akan mengulanginya.”
“Janji?!”
“Janji,” jawab mereka kompak. Io benar-benar sudah tak sabar masuk kamar lalu membuka buku yang baru saja didapatnya. “Boleh kami naik ke kamar sekarang?”
“Tidak,” Meski nada suara Zack sudah menurun, tapi masih terdengar tegas, “sebelum kalian temui ibu kalian dan mengatakan kalau kalian baik-baik saja.”
Io menarik tangan Ai, menuju ke dapur.
“Ya, ampun. Kemana saja kalian?” Scarlet berjalan cepat ke arah kedua putrinya lalu memeluknya erat.
“Dari rumah teman, meminjam beberapa buku.” Setelah dari tadi hanya sebagai pendengar saja, termasuk saat Io berdebat dengan ayahnya, kini Ai bersuara.
“Apa kalian lapar?” Scarlet memandang kedua putrinya bergantian.
“Iya.”
“Tidak.”
Dengan serempak Io dan Ai menjawab pertanyaan, namun dengan jawaban yang tidak kompak. Io melirik tajam ke adiknya yang wajahnya mendadak kaku. Io merasa ketidak kompakan mereka bisa membuat ayah dan ibunya curiga. Melihat Ai diam saja, Io langsung menyahut, “Kami lelah dan ingin cepat tidur.” Tangannya menarik paksa lengan Ai lalu menyeretnya keluar dapur dan berjalan naik ke lantai dua. “Ayo, Io.”
Ai pasrah pada kakaknya. Ia hanya bisa menggerutu sambil terus menapaki anak tangga. “Tapi, Io. Aku lapar.”
Io bergeming. “Masalah ini lebih penting dari pada makan.” Ia membuka pintu kamar, masih menarik lengan Ai masuk, lalu menutup pintu rapat lengkap dengan kuncinya. “Keluarkan bukunya!”
Ai yang baru saja merebahkan tubuhnya dengan malas bangkit. Ia menarik tasnya yang diletakkan setengah dilempar di sampingnya. “Tapi aku benar-benar lapar.” Ai memasang muka memelas hingga membuat Io menyerah. Io tak mau adiknya makin menderita.
“Ya, sudah. Ambillah apa yang bisa kau makan di dapur, lalu kembalilah kemari,” kata Io saat menerima buku besar bersampul coklet yang sudah tampak tua dan rapuh. Dengan perlahan membuka halaman depan buku itu sambil duduk di lantai kamar. Saat Ai kembali dari dapur, dia membawa nampan besar berisi beberapa potong pizza.
“Aku membawakanmu ini.”
“Terima kasih,” ucap Io saat menerima sepotong pizza tanpa menoleh ke Ai.
Ai menjatuhkan diri duduk di samping Io. Ia menggigit pizzanya lalu mengunyahnya beberapa kali kemudian terdiam. “Kapan semua ini akan berakhir?” Pertanyaan itu seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri.
“Berdo’alah dalam hati … dan jangan berisik.” Tukas Io.
Ai menghela nafas panjang, setengah pasrah. Samar, terdengar sebuah suara. Ai menoleh ke Io dan mendapati kakaknya itu duduk tertelungkup dengan tenang sambil terus membaca buku. Suara itu datang lagi tapi Ai tak tahu dimana sumbernya. Mata Ai menyipit, berusaha menajamkan pendengarannya. Dahinya juga berkerut. Ia bangkit dan berjalan mendekat ke sumber suara, jendela kamarnya. Ai menatap tanpa berkedip. Tiba-tiba ia dikagetkan dengan sebuah benda yang melayang dan mengenai kaca jendelanya. Benda itulah yang menyebabkan suara yang mengganggu telinganya.
Dengan setengah berlari Ai mendekat ke jendela dan itu membuat Io kaget. “Adaapa Ai?”
“Sesuatu mengenai jendela ini.” Lalu benda itu melayang lagi. “Seseorang melempar sesuatu ke jendela kamar kita.”
“Siapa?” Io penasaran. Ia bangkit dan mendekat ke Ai.
Ai mengendikkan bahu. Potongan pizza masih ada di tangan kanannya. “Entahlah.”
Io memberanikan diri membuka jendela. Perlahan ia melongok ke luar, melihat ke bawah. Seseorang berdiri tepat di bawah jendela dan melambaikan tangan. Ai mendekat ke Io dan ikut melihat ke bawah. “Bukankah dia petugas perpustakaan tadi?” Ai mengangguk. “Mau apa dia? Mengambil bukunya kembali?”
 Lelaki itu memberi isyarat pada Ai dan Io untuk turun. “Kalau kita tak ke sana, kita tidak akan tahu.” Ujar Io, yang lalu menutup jendelanya kembali.
Dahi Ai berkerut lagi. “Bagaimana dengan ayah dan ibu?”
“Kita keluar diam-diam.” Io mengambil pizza dari tangan Ai. Ai mengerutkan dahi lebih dalam saat tiba-tiba tangannya di tarik oleh Io. “Seperti biasa.”
Untuk kesekian kalinya Io dan Ai mengendap-endap keluar rumah. Untung saja Zack tidak sampai mengunci pintu depan atau juga menempatkan anjing penjaga yang bisa menghalangi kedua putrinya keluar rumah. 
“Kau mau apa? Meminta buku itu kembali? Bahkan kami belum sempat membacanya,”
Ai melihat ke Io yang sedang berbohong. “Iya, benar.” Tapi ia mendukungnya.
Jo tertawa. “Tidak. Aku tidak ingin mengambil buku itu. Justru sebaliknya. Aku sudah menemukan jawabannya.”
“Benarkah?” Ai sangat antusias, tapi Io segera mencegahnya. Sahutnya, “Apa buktinya?”
“Kalian mau tahu?” Sikap Jo membuat kedua anak itu penasaran. Mereka beranggapan kalau Jo punya rencana tersembunyi kepada mereka. Menculik mereka karena mereka berusaha mengungkap tentang kebenaran dark hole, atau mungkin juga Jo ternyata adalah salah satu dari entah siapa mereka yang membuat semua ini dan menyembunyikannya di balik sebongkah batu yang ditancapkan di tanah.
Io menggelengkan kepalanya perlahan, berusaha mengusir semua dugaan. Dia kemudian mengangguk perlahan, namun tetap waspada. “Tentu.”
“Datanglah ke sekolah kalian sore ini. Jangan lupa bawa perlengkapan. Kita akan berpetualang.” Kata Jo yang langsung berbalik tanpa memberikan kesempatan pasa Io dan Ai untuk memahami maksudnya.
“Apa maksudnya?”
“Entahlah.” Io mengendikan bahu. Ia masih melihat ke Jo meski kini lelaki itu tinggal titik di kejauhan. “Tapi kita tak boleh percaya begitu saja. Kita tak tahu siapa dia dan mengapa dia begitu antusias dengan semua ini.” Io mencoba memperingankan Ai dan memintanya ikut waspada. Tapi Ai punya pemikirannya sendiri.
“Tapi kalau tidak dicoba, mana kita tahu dia jujur atau tidak.”
Mendengar jawaban Ai membuat Io berpaling pada adiknya. Dahinya berkerut.
***


To be continued ... 
Next Chapter The Dark Hole Part 2

Related Posts: